TERAPI FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI ASMA
· Terapi non farmakologi
1. Edukasi pasien
Edukasi
pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma. Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri) dan meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
- Meningkatkan
kepuasan
- Meningkatkan
rasa percaya diri
- Meningkatkan
kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- Membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan
dan mengontrol asma
2. Pengukuran
peak flow meter
Perlu
dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus Puncak
Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
Ø Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik,
praktek dokter dan oleh pasien di rumah.
Ø Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek
dokter.
Ø
Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma
persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di
rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal
berisiko tinggi untuk mendapat serangan yang mengancam jiwa.
Ø
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti :
Ø
Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
Ø
Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan
berjalan baik
Ø
Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau
penghentian obat
Ø
Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
3. Identifikasi
dan mengendalikan faktor pencetus
4. Pemberian
oksigen
5. Banyak minum
untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
6. Kontrol
secara teratur
7. Pola hidup sehat
Dapat
dilakukan dengan :
v Penghentian merokok
v Menghindari kegemukan
v Kegiatan fisik misalnya senam asma
(DEPKES
RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Asma)
·
Terapi
Farmakologi
Ø Simpatomimetik
Mekanisme Kerja
Kerja
farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah sebagai berikut :
a.
Stimulasi reseptor α adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
b.
Stimulasi reseptor β1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas dan irama jantung.
c.
Stimulasi reseptor β2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan
klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Selektifitas relatif obat-obat simpatomimetik adalah
faktor penentu utama penggunaan secara klinik dan untuk memprediksi efek
samping yang umum. Obat simpatomimetik selektif β2 memiliki manfaat yang besar
dan bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada
terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan)
yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik. Pada
tabel 2 dapat dilihat perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik berbagai
obat simpatomometik yang digunakan pada terapi asma.
Keterangan :
a : potensi molar relatif 1 adalah yang paling kuat
b: semua obat ini mempunyai aktivitas β1 minor
c:
dapat digunakan melalui aerosol
Indikasi :
Agonis
β2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol) digunakan, bersamaan
dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka panjang terhadap gejala yang
timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga dipergunakan untuk mencegah
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik. Agonis β2 kerja singkat
(seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin) adalah terapi pilihan
untuk menghilangkan gejala akut dan bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik.
Simpatomimetik
adalah obat yang efeknya menyerupai sistem saraf simpatis. Salah satu kerja
sistem saraf simpatis adalah mendilatasi bronkus dengan cara meningkatkan
kecepatan dan kedalaman pernapasan. Itu merupakan efek yang diinginkan ketika
memilih obat simpatomimetik sebagai bronkodilator. (Amy M. Karch. 2010 : 844)
Cara kerja obat dan indikasi terapeutik
Sebagian besar simpatomimetik yang berfungsi sebagai bronkodilator
adalah agonis adrenergik selektif-β2. Hal itu berarti bahwa kadar terapeutik
kerja obat-obatan tersebut spesifik untuk reseptor β2 yang ditemukan dalam
bronkus. Spesifikasi ini akan menghilang
pada kadar simpatis. Keseluruhan efek ini membatasi manfaat sistemik obat ini
pada pasien tertentu. (Amy M. Karch. 2010 : 845- 846)
Simpatomimetik yang digunakan sebagai bronkodilator antara
lain berikut :
Ø Albuterol (Proventil, Ventolin
dan obat lainnya) merupakan obat yang bekerja lama dan tersedia dalam
bentuk inhalasi dan oral bagi pasien yang berusia lebih dari 2 tahun. (Amy M.
Karch. 2010 : 844)
Mekanisme
kerja : agonis reseptor adrenergik β2- menyebabkan bronkodilatasi dengan
indikasi : sebagai obat pilihan untuk terapi gejala-gejala asma yang diinduksi
oleh latihan (James. 2003 : 108)
Interaksi
obat : penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan simpatomimetik lain
menguatkan efek simpatomimetik, dapat menginduksi toksisitas, bloker β
menghambat aktivitas. (James. 2003 : 109)
Ø Bitolterol (Tornalate) merupakan obat yang bekerja lama dan
tersedia dalam bentuk inhalasi, obat ini lebih disukai untuk profilaksis
bronkospasme pada pasien yang berusia lebih dari 12 tahun. (Amy M. Karch. 2010
: 844)
Mekanisme kerja : agonis reseptor adrenergik β2- menyebabkan
bronkodilatasi dengan indikasi : sebagai obat pilihan untuk terapi
gejala-gejala asma yang diinduksi oleh latihan. (James. 2003 : 108)
Interaksi obat : penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan
simpatomimetik lain menguatkan efek simpatomimetik, dapat menginduksi
toksisitas, bloker β menghambat aktivitas. (James. 2003 : 109)
Ø Efedrin (generik) digunakan secara parenteral untuk mengatasi
bronkospasme akut pada dewasa dan anak-anak, meskipun obat pilihannya adalah
epinefrin. (Amy M. Karch. 2010 : 844)
Ø Epinefrin (Primatene Mist, Sus-Phrine, EpiPen, dan lainnya)
merupakan obat pilihan untuk orang dewasa dan anak-anak untuk mengatasi bronkospasme
akut, termasuk yang diakibatkan oleh anafilaksis, obat ini juga tersedia dalam
bentuk inhalasi. Karena efinefrin dikaitkan dengan efek simpatomimetik
sistemik, obat ini bukan merupakan obat pilihan pada pasien yang mengalami
gangguan jantung. (Amy M. Karch. 2010 : 844)
Mekanisme kerja : agonis adrenergik menyebabkan bronkodilatasi
(reseptor β2), vasokontriksi (α1) dan menurunkan sekresi (α1), dengan
indikasnya digunakan sebagai secara darurat untuk bronkokontriksi berat/
vasodilatasi (anafilaksis). (James. 2003 : 108)
Ø Formoterol (foradil) adalah obat inhalasi untuk terapi rumatan asma
dan pencegahan bronkospasme pada pasien yang berusia lebih dari 5 tahun dan
memiliki penyakit jalan napas obstruktif reversibel, serta untuk pencegahan
bronkospasme akibat olahraga pada pasien yang berusia lebih dari 12 tahun. (Amy
M. Karch. 2010 : 844)
Ø Isoetarin (Bronkosol dan lainnya) merupakan obat inhalasi yang
digunakan untuk profilaksis dan pengobatan bronkospasme. Pedoman dosis bagi
anak-anak masih belum ditetapkan. (Amy M. Karch. 2010 : 844)
Mekanisme kerja : agonis reseptor adrenergik β2- menyebabkan
bronkodilatasi dengan indikasi : sebagai obat pilihan untuk terapi
gejala-gejala asma yang diinduksi oleh latihan. (James. 2003 : 108)
Interaksi obat : penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan
simpatomimetik lain menguatkan efek simpatomimetik, dapat menginduksi
toksisitas, bloker β menghambat aktivitas. (James. 2003 : 109)
Ø Isoproterenol (Isuprel dan obat yang lain) digunakan untuk
pengobatan bronkospasme selama anestesia dan berbagai obat inhalasi untuk
pengobatan bronkospasme pada orang dewasa dan anak-anak, obat ini dikaitkan
dengan lebih banyaknya efek samping jantung daripada obat-obatan yang lain.
(Amy M. Karch. 2010 : 844)
Mekanisme kerja : Agonis β1 dan β2 (vasodilatasi hebat), dengan
indikasi digunakan sebagai secara darurat untuk bronkokontriksi berat/
vasodilatasi (anafilaksis). (James. 2003 : 108)
Interaksi Obat : penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan
simpatomimetik lain menguatkan efek simpatomimetik, dapat menginduksi
toksisitas, bloker β menghambat aktivitas. (James. 2003 : 109)
Ø Levalbuterol (Xopenex) merupakan obat inhalasi yang berfungsi untuk
mengobati dan mencegah bronkospasme pada pasien yang berusia lebih dari 6 tahun
dan menderita penyakit paru obstruktif
reversibel. (Amy M. Karch. 2010 : 844)
Ø Metaproterenol (Alupent) tersedia dalm bentuk obat oral atau
inhalasi dan digunakan untuk pengobatan fan profilaksis kondisi bronkospasme
pada pasien yang berusia lebih dari 6 tahun. (Amy M. Karch. 2010 : 844)
Mekanisme kerja : agonis reseptor adrenergik β2- menyebabkan
bronkodilatasi dengan indikasi : sebagai obat pilihan untuk terapi
gejala-gejala asma yang diinduksi oleh latihan. (James. 2003 : 108)
Interaksi obat : penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan
simpatomimetik lain menguatkan efek simpatomimetik, dapat menginduksi
toksisitas, bloker β menghambat aktivitas. (James. 2003 : 109)
Ø Pirbuterol (Maxair) merupakan obat inhalasi yang digunakan baik
untuk pengobatan maupun profilaksis bronkospasme pada pasien yang berusia
lebihbdari 12 tahun. . (Amy M. Karch. 2010 : 845)
Mekanisme kerja : agonis reseptor adrenergik β2- menyebabkan
bronkodilatasi dengan indikasi : sebagai obat pilihan untuk terapi
gejala-gejala asma yang diinduksi oleh latihan. (James. 2003 : 108)
Interaksi obat : penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan
simpatomimetik lain menguatkan efek simpatomimetik, dapat menginduksi
toksisitas, bloker β menghambat aktivitas. (James. 2003 : 109)
Ø Salmeterol (Serevent) merupakan obat inhalasi yang terbukti
berhasil untuk mencegah asma akibat olaharaga dan sebagai obat profilaksis
bronkospasme pada pasien tertentu yang berusia lebih dari 4 tahun
Ø Terbutalain (Brethaire dan obat lain) dapat digunakan secara oral,
parenteral dan inhalasi, baik sebagai profilaksis maupun sebagai pengobatan
bronkospasme pada pasien yang berusia labih dari 12 tahun. (Amy M. Karch. 2010
: 845)
Mekanisme kerja : agonis reseptor adrenergik β2- menyebabkan
bronkodilatasi dengan indikasi : sebagai obat pilihan untuk terapi
gejala-gejala asma yang diinduksi oleh latihan. (James. 2003 : 108)
Interaksi obat : penghambat MAO, antidepresan trisiklik dan
simpatomimetik lain menguatkan efek simpatomimetik, dapat menginduksi
toksisitas, bloker β menghambat aktivitas. (James. 2003 : 109)
Ø
Bronkodilator/Antiasmatikus
Bronkodilator,
merupakan obat yang digunakan untuk mendilatasi jalan nafas. Obat ini
bermanfaat untuk meredakam gejala atau mencegah asma bronkial dan bronkospasme
yang terkait PPOK. (Amy M. Karch. 2010 : 840)
·
Xantin
Termasuk kafein dan teofilin, berasal dari berbagai macam sumber
alami. Obat ini dahulu merupakan obat pilihan untuk mengatasu asma dan
bronkospasme. Namun, obat ini memiliki batas aman yang relatif sempit, dan
berinteraksi dengan berbagai macam obat lainnya. Oleh karena itu, obat ini tidak lagi menjadi
bronkodilator utama. Xantin yang digunakan untuk mengatasi penyakit saluran
pernafasan adalah aminofilin (Truphyilline), kafein (caffedrine), difilin
(Dilor), okstrilifin (Choledyl-SA), dan teofilin (Slo-bid, The-Dur). (Amy M.
Karch. 2010 : 840- 841)
Meningkatkan CAMP dan menghambat bronkokontriksi yang diinduksi
oleh adenosin. Teofilin oral digunakan untuk penatalaksanaan pasien asma rawat
jalan. Bolus aminofilin intravena, yaitu garam teofilin yang larut dalam air,
membuat kadar serum terapeutik yang lebih cepat daripada teofilin oral.
Karenanya aminofilin digunakan dalam penatalaksanaan akut. (James. 2003 : 109)
Cara
kerja obat dan indikasi terapeutik
Xantin memiliki efek
langsung pada otot polos disaluran pernafasan, baik pada bronkus maupun pada
pembuluh darah. Satu teori menyatakan bahwa xantin bekerja dengan cara
memengaruhi langsung pergerakan kalsium didalm sel. Hal tersebut dilakukan
dengan cara menstimulasi dua prostaglandin, sehingga menyebabkan relaksasi otot
polos. Efek relaksasi otot polos menigkatkan kapasitas vital yang telah
mengalami kerusakan akibat adanya bronkospasme atau terperangkapnya udara.
Xantin juga menghambat pelepasan zat anafilaksis kerja lambat (SRSA) dan
histamin, yang mengurangi pembengkakan dan penyempitan bronkus akibat kerja
dari kedua zat kimia ini. (Amy M. Karch. 2010 : 841)
Xantin diindikasi untuk
meredakan gejala atau mencegah asma bronkial dan mengatasi bronkospasme yang
terkait dengan PPOK. Penggunaan off-label meliputi stimulais pernapasan pada
pernapasan Cheyne-Stokes dan pengobatan apnea serta bradikardia pada bayi
prematur. (Amy M. Karch. 2010 : 841)
·
Teofilin
(mis, Theo- Dur)
Mekanisme : bekerja pada otot polos jalan napas (bronkiolus) dan
pembuluh dara paru, mempengaruhi siklus AMP sehingga terjadi dilatasi otot
polos. (dr, Theodorus. 1996 : 268)
Ø
Bronkodilator
AntiKolinergik
Pasien yang tidak dapat menoleransi efek simpatis dari obat
simpatomimetik dan berespon terhadap obat antikolinergik ipratropium. Obat ini
selektif obat simpatomimetik, tetapi obat ini meredakan beberapa gejala pada
pasien yang tidak menolerasi obat lain. (Amy M. Karch. 2010 : 849)
Cara
kerja dan indikasi teraupeutik
Obat anti kolinergik
digunakan sebagai bronkodilator karena efek obat ini pada saraf vagus, yang
menghambat neutransmitter asetilkolin ditempat reseptor vagal. Pada keadaan
normal, stimulasi vagal akan menghasilkan efek stimulasi pada otot polos,
menyebabkan kontraksi. Dengan menghambat efek vagal, relaksasi otot polos bronkus
terjadi, yang mengakibatkan bronkodilatasi. Obat ini diindikasikan untuk terapi
rumatan pasien PPOK, termasuk kondisi bronkospasme dan emfisiema. (Amy M.
Karch. 2010 : 849)
Menghambat
bronkokonstriksi yang disebabkan oleh transmisi parasimpatis. Ipatrium bromida
merupakan obat pilihan untuk pengobatan PPOM non asmatik pada orang dewasa dan
merupakan obat sekunder untuk pengobatan asma. (James. 2003 : 109)
a.
Ipratropium
(Atrovent)
Mekanisme
kerja : Antagonis muskarinik, memulihkan bronkokontriksi yang diinduksi
asetilkolin
Indikasi
: Bronkospasme yang menyertai PPOM pada orang dewasa
Interaksi
Obat : Efek aditif dengan agonis adrenergik
(James.
2003 : 110)
b.
Atropin
Mekanisme
kerja : Antagonis muskarinik, memulihkan bronkokontriksi yang diinduksi asetilkolin
Indikasi
: Hanya bronkodilatasi pada keadaan darurat
Interaksi
Obat : Efek aditif dengan agonis adrenergik
(James.
2003 : 110)
Ø Antagonis Reseptor Leukotrien
Kelas obat terbaru, antagonis reseptor
leukotrien, dikembangkan untuk dapat bekerja lebih spesifik pada area masalah
yang dikaitkan asma. Zarfilukas (Accolate) merupakan obat pertama dalam kelas
ini yang dikembangkan. Montelukas (Singulair) dan Zileutin (Zyflo) merupakan
obat lain yang saat ini tersedia dalam kelas obat ini. (Amy M. Karch. 2010 :
854)
Cara
kerja dan indikasi terapeutik
Antagonis reseptor leukotrien secara
selektif dan secara kompetitif menghambat (Zafirlukas, montelukas) atau
bertindak sebagai anatagonis (Zileuton) reseptor untuk produksi leukotrien D4
dan E4, komponen SRSA. Hasilnya, obat-obatan ini menghambat setiap tanda dan
gejala asma, seperti terjadinya migrasi neutrofil dan eosinofil, agregasi
neutrofil dan monosit, adhesi leukosit, peningkatan permeabilitas kapiler dan
kontraksi otot polos. Faktor ini berperan dalam respon inflamasi, edema,
sekresi mukus, dan bronkokontriksi yang terlihat pada pasien asma. Antagonis
reseptor leukotrien diindikasikan untuk profilalaksis dan pengobatan kronis
asma bronkial yang terjadi pada orang dewasa dan pasien yang berkurang dari 12
tahun. Obat ini tidak diindikasikan untuk pengobatan serangan asma akut. (Amy
M. Karch. 2010 : 854)
a.
Zafirlukast
(Accolate)
Zafirlukast adalah antagonis reseptor leukotrien D4 dan
E4 yang selektif dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA - slow-reacting
substances of anaphylaxis). Produksi leukotrien dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
Zat antileukitrien ini melindungi terhadap bronchontriksi dan
peradangan yang ditimbulkan oleh berbagai stimulasi seperti mengeluarkan
tenaga, hawa, dingin berbagai alergen dan PAF. Khasiat ini berdasarkan
pengikatan pada reseptor leukotrien tertentus, sehingga daya kerja leukotrien
LTC4, LTD4, dan LTE4, dihindarkan, digunakan untuk pemeliharaan asma bila ICS
dan β2-mimetika tidak atau kurang efektif. (Tan, Hoan. 2008 : 654)
b.
Montelukast
(Singulair)
Montelukast adalah antagonis reseptor leukotrien
selektif dan aktif pada penggunaan oral, yang menghambat reseptor leukotrien
sisteinil (CysLT1). Leukotrien adalah produk metabolisme asam arakhidonat dan
dilepaskan dari sel mast dan eosinofil. Produksi leukotrien dan okupasi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstriksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.
LT-Reseptorblocker selektif dengan efek bronchodilatasi ini
memberikan efek dalam waktu 2 jam. Berkhasiat menghambat reaksi alergis, baik
yang dini maupun yang lambat, juga menurunkan jumlah eosinofil dalam darah
(seperti kortikoida). Digunakan sebagai terapi kombinasi dengan obat asma
lainnya, juga untuk prevensi serangan asma setelah kegiatan yang meletihkan.
(Tan, Hoan. 2008 : 654)
Ø
Surfaktan
Paru
Surfkatan paru merupakan senyawa atau
lipoprotein alami yang mengandung lipid atau apoprotein yang menurunkan
tegangan permukaan dalam alveolus, memungkinkan ekspansi alveolus untuk pertukaran
gas. Empat surfaktan paru yang saat ini tersedia adalah beraktan (Survanta),
Kalfaktan (infasurf), kolfoseril (Exosur Neonatal), dan obat-obatan terbaru,
Poraktan (Curosurf). Poraktan sedang diuji – coba untuk mengobati RDS pada
pasien dewasa dan orang dewasa yang nyaris tenggelam. (Amy M. Karch. 2010 :
855)
Cara kerja obat dan indikasi Terapeutik
Obat ini digunakan untuk mengganti
surfaktan yang hilang dalam paru-paru neonatus RDS. Obat ini diindikasikan
untuk terapi bayi yang mengalami RDS selain itu, obat ini juga digunakan untuk
pengobatan profilaksis pada bayi yang beresiko tinggi mengalami RDS- bayi yang
memiliki berat badan kurang dari 1350 g dan lebih dari 1350 g yang terbukti
mengalami imaturitas pernapasan. (Amy M. Karch. 2010 : 855)
Ø Stabilisator Sel Mast
Dua obat yang sering digunakan untuk mengatasi asma dan alergi
adalah kromolin (Intal) dan nedokromil (Tilade). Obat-obat ini mencegah
pelepasan zat inflamasi untuk melepaskan semua zat-zat itu karena adanya
iritasi atau antigen. (Amy M. Karch. 2010 : 856)
Cara kerja obat dan indikasi terpeutik
Kromolin bekerja ditingkat selular untuk menghambat pelepasan
histamin (dilepaskan dari sel mast sebagai respons terhadap inflamasi atau
iritasi) dan menghambat pelepasan SRSA. Dengan menghambat mediator kimai reaksi
imun ini, kromolin mencegah respons asma alergi ketika saluran napas terpajan
dengan alergen yang mengganggu. Obat ini diinhalasi dari kapsul dan tidak
mencapai efek puncaknya dalam 1 minggu. Obat ini direkomendasi untuk pengobatan
asma bronkial kronis, asma akibat olahraga, dan rinitis alergi. (Amy M. Karch.
2010 : 856)
Nedokromil menghambat mediator berbagai
macam inflamasi, termasuk eosinofil, neutrofil, makrofag, dan sel mast. Dengan
cara menghambat efek tersebut, nedokromil dapat mengurangi pelepasan histamin
dan menghambat keseluruhan respons inflamasi. Obat ini diindikasikan untuk
penatalaksanaan pasien berusia lebih dari 12 tahun yang mengalami asma bronkial
ringan sampai sedang. Obat ini harus digunakan secara kontinu untuk mendapatkan
hasil yang terbaik dan seringkali digunakan secara bersamaan dengan
kortikostreoid. (Amy M. Karch. 2010 : 856)
Ø
Kortikosteroid
Steroid inhalasi sangat efektif untuk mengatasi bronkospasme. Obat
yang disetujui untuk indikasi ini adalah Beklometason (Beclovent), budesonid
(Pulmicort), Flunisolid (AeroBid), tikatson (Flovent), dan triamnisolon
(Azmacort). (Amy M. Karch. 2010 : 852)
Cara
kerja obat dan indikasi terpeutik
Streoid inhalasi
benrfungsi untuk respons inflamasi dijalan napas. Pada jalan napas yang
mengalami pembengkakan dan penyempitan akibat adanya respons infalamasi dan
pembengkakan, kerja obat ini akan meningkatkan aliran udara dan memfasilitasi
pernapasan. Menginhalasi steroid cenderung menurunkan sejumlah besar efek
sistemik yang dikaitkan dengan penggunaan steroid. (Amy M. Karch. 2010 : 856)
Obat ini digunakan
untuk pencegahan dan pengobatan asma, untuk mengobati asma bronkial kronis yang
tergantung dengan steroid, dan sebagai terapi tambahan pada pasien yang tidak
dapat mengontrol asma dengan bronkodilator tradisional. (Amy M. Karch. 2010 :
852)
Mekanisme kerja
kortikosteroid telah digunakan untuk pengobatan asma sejak 1950 an dan diduga
bekerja dengan efektivitas anti inflamasi mereka yang luas, sebagian terjadi
karena hambatan produksi cytokine inflamatori. Obat-obat tersebut tidak dapat
mengadakan relaksasi otot polos jalan napas scara langsung tetapi dengan
mengurangi reaktivitas bronkial, meningkatkan kaliber jalan napas, dan
mengurangi frekuensi eksaserbasi asma jika digunakan secara teratur. Efeknya
pada obstruksi jalan napas diduga, sebagian, karena mengadakan potensiasi pada
efek agonis reseptor- β. Namun demikian, efek terpenting mereka adalah
kemampuan menghambat limfositik, infalamasi mukosa jalan napas yang eosinofil
pada asma. (Betram G. 2001 : 599)
Kortikostreoid
berkhasiat meniadakan efek mediator, seperti peradangan dan gatal-gatal. Daya
anti radang ini berdasarkan blokade enxim fosolipase-A2, sehingga pembentukan
mediator peradangan prostaglandin dan leukotrien dari asam arachidonat tidak
terjadi. Lagi pula pelepasan asam ini oleh mastcells juga dirintangi.
Singkatnya kortokosteroid menghambat mekanisme kegiatan alergen yang melalui
IgE dapat menyebabkan degranulasi mastcells, juga meningkatkan kepekaan reseptor
β2 hingga efek β mimetika diperkuat. (Tan, Hoan. 2008 : 647)
Penggunaannya
terutama bermanfaat pada serangan asma akibat infeksi virus, selain juga pada
infeksi bakteri untuk melawan reaksi peradangan. Pada reaksi alergi lambat juga
efektif. Untuk mengurangi hiperreaktivitad bronchi, zat-zat ini dapat diberikan
per inhalasi atau peroral. Dalam kasus
gawat dan status asthamaticus (kejang bronchi), obat ini diberikan secara
infus, kemudian disusul dengan pemberian oral. (Tan, Hoan. 2008 : 647)
Sediaan :
Hidrokortison, prednisolon(Delta-Cortef), deksametason (Decadron), triamnisolon
(Kenacort, Azmacort), flunisolid(Aerobid) , beklometason (Beclovent)
Mekanisme kerja
: menurunkan peradangan dan edema dalam saluran pernapasan. Meningkatkan
aktivitas simpatomimetik pada keadaan hipoksia dan asidosis. (James. 2003 :
110)
Indikasi : asma
yang tidak dapat dikendalikan oleh simpatomimetik (bronkodilator) saja. (James.
2003 : 110)
Ø Mukolitika dan eskspektoransia : asetil, karbosistein, mesna, bromheksin, ambroxol, kaliumiodida,
dan amonium klorida
Semua obat ini mengurangi kekentalan dahak, mukolitika dengan
merombak mukoproteinnya dan ekspektoransia dengan menngencerkan dahak, sehingga
pengeluarannya dipermudah. Obat ini dapat meringankan perasaan sesak napas dan
terutama berguna pada serangan asma hebat yang dapat mematikan bila sumbatan
lendir sedemikian kental tidak dapat dikeluarkan. (Tan, Hoan. 2008 : 647)
Ø Antihistaminika : ketotifen, oksatomida
Obat-obat ini memblokir reseptor histamin (H1-reseptor bloker) dan
dengan demikian mencegah efek bronchokonstriksinya. Anti histaminika sangat
efektif terhadap sejumlah gejala rhinitis allergica, urticaria, kepekaan
terhadap obat-obat, pruritus dan gigitan/sengatan serangga. Namun, efeknya pada
asma umumnya terbatas dan kurang memuaskan, karena antihistaminikabtidak
melawan efek bronchontriksi dari mediator lain yang dilepaskan mastcells. (Tan,
Hoan. 2008 : 647)
o Ketotifen (Zaditen), untuk memblokir reseptor histamin, , juga
berdaya menstabilisasi mast cells. Zat ini sama efektifnya dengan kromoglikat
pada profilaksis asma yang bersifat alergi. (Tan, Hoan. 2008 : 653)
o
Oksatomida
(Tinset), berkhasiat memblokir reseptor histamin, serotonin dan leukotrien di
otot, juga menstabilisasi mast cells. Dianjurkan sebagai obat pemeliharaan dan
pencegah asma alergis, rhinitis alergis, dan urticaria kronis. (Tan, Hoan. 2008
: 653)
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care
untuk Penyakit Asma. Jakarta: Depkes RI.
Karch,
Amy M. 2010. Buku Ajar Farmakologi
Keperawatan. Jakarta : EGC
Katzung,
Betram G. 2001. Farmakologi Dasar dan
Klinik. Jakarta: Salemba Medika Olson, James. 2003. Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta : EGC
Thodorus,
dr. 1996. Penunutun Praktis Peresepan
Obat. Jakarta : EGC
Tjay,
Tan Hoan. 2008. Obat- Obat Penting.
Jakarta : PT Elex Media Komputindo
0 komentar:
Posting Komentar